Dari beberapa
polemik G30S/PKI, terdapat beberapa versi yang terungkap, namun masih harus
diuji kebenarannya. Adapun beberapa versi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pertama,
versi yang menyebutkan PKI adalah dalang dari peristiwa Gerakan 30 September.
Penganut versi tersebut berpendapat bahwa PKI telah membangun kekuatan secara
sistematis. Termasuk menginfiltrasi clan memperalat oknum-oknum
ABRI dalam rangka menghancurkan kelompok penentangnya.
Bukti pendukung
versi ini adalah kehadiran Biro khusus yang dipimpin oleh Syam Kamaruzaman,
sebuah organ rahasia clan nonstructural di bawah D.N. Aidit. Bukti lain adalah
dukungan terbuka dari surat kabar “Harian Rakyat” pads 2 Oktober terhadap
Gerakan 30 September. Selain itu, bukti versi ini diperkuat oleh adanya
pengakuan dari para pemimpin PKI di depan Mahkamah Militer luar Biasa
(Mahmilub). Njono, misalnya mengaku agar anggota ormas PKI dilatih sebagai
tenaga cadangan. Versi ini
terdapat dalam “buku putih” yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara, Republik Indonesia maupun
buku-buku sejarah yang diajarkan disekolah-sekolah.
Menurut hasil
kesimpulan pembelaan Nyono dimuka Mahmilub pada tanggal 19 Februari 1966,
PKI-lah yang berada dibalik G30S, dengan dalih membela Presiden Soekarno, secara pribadi
maupun untuk mengamankan “REVOLUSI” yang sedang dijalankan Presiden Soekarno.
Peristiwa G30S merupakan puncak dari aksi revolusi atau kudeta PKI di
Indonesia, yang sebelumnya sudah didahului dengan berbagai aksi kekerasan
(pembunuhan) terhadap warga masyarakat diberbagai wilayah indonesia, yang
menentang keberadaan komunis (PKI).
Bukti kesaksian
Menlu Subandrio yang sekaligus kepala BPI (Badan Pusat Intelejen) mengatakan
bahwa D.N Aidit dan Untung Sotopo terlibat dalam aksi G30S, dimana kedua orang
tersebut adalah tokoh-tokoh utama PKI. Tetap dengan dalih yang sama, seperti
pengakuan Nyono, bahwa ada Dewan Jenderal yang berniat menggulingkan
kepemimpinan Presiden Soekarno. Namun kalau Nyono jelas-jelas mengatakan bahwa
PKI yang membasmi Dewan Jenderal demi alasannya.
Kegagalan
G30S/PKI merupakan pukulan yang paling telak bagi sejarah perjuangan kaum
komunis di Indonesia. Kehancuran kekuatan militer G30S/PKI membuat D.N. Aidit
lari ke Jawa Tengah sedangkan Sjam, Pono dan Brigjen Suparjo mundur kebasis camp
didaerah perkebunan Pondok Gede. Pada tanggal 3
Oktober 1965, Sjam dan Pono menghadap Sudisman untuk memberikan keterangan
tentang gagalnya PKI di Kayu Awet, Rawamangun, Jakarta. Setelah mendengar
laporan tersebut, Sudisman memerintahkan Pono untuk pergi ke Jawa Tengah untuk
melaporkan situasi terakhir di Jakarta kepada D.N. Aidit.
Pada hari yang
sama, D.N. Aidit di Jawa Tengah telah memerintahkan Pono kembali ke Jakarta
membawa instruksi lisan kepada Sudisman dan sepucuk surat kepada Presiden
Soekarno. Instruksi kepada Sudisman adalah agar anggota-angota CC PKI yang
masih ada di Jakarta melakukan upaya penyelamatan partai dan Nyono dapat
mewakili D.N. Aidit menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Bogor pada taggal 8
Oktober 1965. Aidit beralasan, dirinya tidak dapat menghadiri sidang itu karena
tidak adanya transportasi ke Bogor dari Jawa Tengah.
Dalam Sidang
Paripurna di Bogor tanggal 8 Oktober 1965, Nyono membacakan teks yang intinya
menyebutkan bahwa bahwa PKI sama sekali tidak terlibat dalam apa yang disebut
gerakan 30 September 1965. Secara rahasia, beberapa pentolan PKI juga
mengadakan rapat yang membahas serangkaian peristiwa terahir setelah
serangkaian G30S PKI dan melakukan
konsolidasi partai. tanggal 12 Oktober 1965, dirumah Dargo, tokoh PKI Solo,
dilakukan rapat gelap antara D.N. Aidit, Pono dan Munir (anggota PKI yang baru
tiba dari Jawa Timur).
Dalam rapat itu
dikatakan bahwa kegagalan gerakan September akan membuka kedok keterlibatan
PKI. Keberadaan PKI melakukan perjuangan secara parlementer sudah tidak mungkin
dilakukan lagi. Munir melakukan usulan untuk dilakukan gerakan bersenjata,
usulan Munir pada prinsipnya disetujui oleh peserta rapat. Aidit menugaskan
Ponjo untuk meneliti daerah mana saja yang memungkinkan untuk dijadikan basis
PKI guna melaksanakan perjuangan bersenjata, daerah yang diusulkan untuk
ditinjau adalah Merapi, Merbabu serta Kabupaten Boyolali, Semarang dan Klaten.
Belum lagi
kegiatan itu direalisasikan, gerakan pasukan RPKAD telah memasuki kota Solo.
Walau PKI berusaha melawan, namun pada operasi pembersihan yang dilakukan RPKAD
di Boyolali, DN Aidit terbunuh. Kejadian
demi kejadian berlangsung dengan amat cepat. Rakyat sudah tidak percaya lagi pada
PKI. Rakyat bersama-sama dengan mahasiswa dan militer yang masih setia pada
konstitusi negara merapatkan barisan dan bergabung dalam satu front melawan
PKI. ahirnya legalisasi PKI sudak tidak mampu dipertahankan oleh pengikutnya.Lewat ketetapan MPRS-RI. NO.XXV/MPRS/1966, PKI dibubarkan dan dinyatakan
sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Bukan itu saja, lewat ketetapan yang sama, paham Komunis dan Marxis-Leninisme
dinyatakan haram berada di negara Indonesia.
2.
Kedua, ada versi yang menyebutkan bahwa dalang dari peristiwa
Gerakan 30 September merupakan akibat dari konflik intern di dalam tubuh
Angkatan Darat. Versi ini dikemukakan oleh Ben Anderson clan Ruth Mc Vey dalam
kertas kerjanya yang
kemudian dikenal sebagai Cornell Paper. Dalam versi ini
kedua ahli tersebut menyatakan bahwa PKI tak memiliki motif melakukan kudeta
karena saat itu situasi politik sangat menguntungkan PKI. Oleh karena itu,
upaya terbaik PKI adalah mempertahankan status quo clan sebaliknya bukan
mengacaukannya dengan peristiwa berdarah yang akan merugikan posisinya.
Dalam pandangan
versi ini, peristiwa Gerakan 30 September adalah puncak kekecewaan dari
berbagai perwira menengah Jawa atas kepemimpinan di AD. Para perwira
“progresif” itu menilai bahwa para jendral AD “telah disilaukan oleh kehidupan
Jakarta yang gemerlap” sehingga perlu “diingatkan”.
3.
Ketiga, ada yang menyebutkan bahwa Letjen Soeharto adalah
orang yang sesungguhnya berada dibalik peristiwa Gerakan 30 September. Mereka
lantas menyodorkan sejumlah fakta. Sebagai Panglima Kostrad ia adalah jendral
yang biasa mewakili Panglima AD bila yang bersangkutan pergi ke luar negeri dan
pemegang komando pasukan. Namun, dalam posisi itu, Soeharto tak masuk dalam
daftar korban penculikan. Logikanya, pihak lawan harus mengutamakan pembersihan
terhadap orang-orang yang memiliki pasukan dan memegang komando. Kecuali bila
ia dianggap sebagai “kawan” atau setidak-tidaknya diperkirakan akan bersimpati
terhadap gerakan tersebut.
Dikatakan bahwa
Soeharto adalah orang yang haus akan kekuasaan, dapat dilihat ketika ia
berturut-turut menjadi Presiden sampai 32 tahun lamanya. Pada saat itu,
halangan Soeharto untuk mencapai tampuk kekuasaan adalah senior-senior AD-nya
dan PKI yang dekat dengan Soekarno. G30S adalah cara bagus untuk menyingkirkan
dua musuhnya sekaligus. Dengan terbunuhnya panglima-panglima AD, ia memiliki
alasan untuk membasmi PKI yang dituduh melakukannya. Kedekatannya pada Letkol
Untung, pelaksana lapangan operasi G30S, membuat tuduhan terhadap dirinya
semakin nyata. Setelah Orde Baru berakhir, banyak sekali buku yang terbit
mengacu pada G30S/Soeharto. Belum memiliki bukti, yang terdapat di sana
hanyalah berupa prediksi-prediksi yang logis.
4.
Keempat, versi lain yang menyebutkan bahwa Gerakan 30
September terjadi karena adanya campur Langan Bari Central Intelligence Agency
(CIA). Dinas intelejen Amerika Serikat itu dianggap memprovokasi PKI agar
melakukan kudeta. Tapi, kudeta itu dikondisikan sedemikian rupa supaya
berlangsung secara premature. Dengan begitu, PKI bisa langsung dihancurkan.
Pada saat
Perang Dingin, kepentingan AS jelas sekali, yaitu untuk mencegah sebuah negara
menjadi negara komunis atau pro-komunis. Hal ini telah terbukti pada
intervensinya di Korea maupun Vietnam. PKI pada saat itu merupakan partai
komunis terbesar ketiga di dunia. Setelah operasi G30S berhasil menyingkirkan
PKI (komunis) dan juga Soekarno (anti barat), Indonesia Orde Baru menggandeng
erat kapitalisme AS. Artinya, dari hasil yang ditimbulkan, adalah sangat masuk
akal bahwa CIA/AS adalah dalang di balik ini semua.
Versi ini
dikemukakan oleh Peter Dale Scott, guru besar Universitas California, Amerika
Serikat. Namun, menurut Audrey dan George Mc Turner Kahin dalam buku
“Subversion as a Foreign Policy”, pihak Inggrislah yang paling memiliki motif
untuk medesakkan perubahan politik di Indonesia. Alasannya, dengan perubahan
politik, Inggris tidak perlu lagi mengucurkan dana besar-besaran untuk
mempertahankan Malaysia dari politik confrontasi yang saat itu dijalankan pihak
Indonesia.
5.
Kelima, versi yang menyebutkan bahwa peristiwa Gerakan 30
September adalah sebuah skenario Presiden Soekarno untuk melenyapkan oposiosi
dari Para perwira tinggi yang menentang sikap politiknya. Versi ini dikemukakan
oleh Anthony Dake, sejarawan Amerika Serikat. Kesimpulan tersebut didasarkan
atas kesaksian Bambang Widjonarko, ajudan Presiden, di Mahmilub. Pihak Amerika Serikat
juga percaya dengan versi tersebut, terutama karena kemunculan Soekarno di
Pangkalan Halim Perdanakusuma, perlindungannya kepada sejumlah pemimpin PKI,
dan ketidakmampuannya untuk memperlihatkan simpati atas terbunuhnya pars
jendral.
6.
Dan versi terakhir yang menyebutkan bahwa Presiden Soekarno
ikut campur dalam peristiwa Gerakan 30 September. Menurut Prof CA Dake,
Presiden Soekarno-lah yang menjadi mastermind, bukan PKI, bukan pula Soeharto.
Dake juga menepis tuduhan banyak pihak bahwa Amerika berkonspirasi dengan
jenderal-jenderal kanan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. bahkan menyebut
Presiden Soekarno sebenarnya mengetahui rencana PKI sebelumnya. Sebagai
indikasi, adanya “Surat rahasia” yang diberikan kepada Presiden Soekarno di seta-seta
scars pertemuan persatuan ahli teknik di Senayan, Jakarta pada 30 September
1965. Surat tersebut konon berasal dart kolonel Untung Sutopo.
Versi ini
terdapat dalam kumpulan clokumen’ CIA yang diterbitkan pads 1995, yaitu “The
Coup that Backfired” .Dokumen tersebut juga menyebutkan adanya pertemuan antara
Brigjen Sugandhi, Kepala Penerangan Hankam, dan Presiden Soekarno pada 30
September 1965 Siang. Dalam pertemuan itu, Brigjen Sugandhi memberitahukan
tentang rencana kudeta PKI yang diketahuinya dari pembicaraannya dengan D.N.
Aidit dan Sudisman. Tap!, konon, Presiden Soekarno justru marsh dan menyebut
Sugandhi sebagai seorang komunisfobia. Presiden Soekarno kemudian memerintahkan
Sugandhi untuk tutup mulut.
Lebih jauh W.F.
Wertheim, sejarawan Belanda, mengatakan Soeharto memiliki hubungan dengan semua
perwira AD yang terlibat Gerakan 36 September. Misalnya, Kolonel Untung Sutopo
dan Kolonel Latief yang merupakan bekas anak bush clan dikenal dekat dengan
Soeharto. Keterangan Soeharto yang berubah-ubah juga membangkitkan rasa curiga.
Dalam wawancara dengan majalah “Der Spiegel”, Juni 1970, Soeharto mengaku
s-Mpat berbincang dengan Kolonel Latief di RSPAD Gatot Subroto pads 30
September malam.
Namun, dalam
buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,” Soeharto menyatakan hanya
melihat Kolonel Latief dari kejauhan. Berdasarkan pengakuan dari Kolonel Latief
sendiri disebutkan bahwa memang pads malam itu ia bertemu dan melaporkan
tentang rencana penculikan Para jendral AD kepada Soeharto. Namun, Soeharto
tidak mengambil tindakan.
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen
Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 19
65 menyebutkan
sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin anti-komunis bahwa ia
masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia
tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu
“giliran PKI akan tiba. Soekarno berkata, “Kamu bisa menjadi teman atau musuh
saya. Itu terserah kamu. … Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat
saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang.” Pelaksana langsung operasi
G30S adalah pasukan Cakrabirawa (pasukan penjaga keamanan Presiden) yang
dipimpin oleh Letkol Untung. Karena merasa dirinya akan dikudeta oleh
jendera-jenderalnya, ia mengambil tindakan pencegahan dengan memerintahkan
Cakrabirawa untuk membereskan mereka.
Pertanyaan
apakah Soekarno terlibat atau mendalangi G30S, sebetulnya sudah dijawab
Jenderal Soeharto pada Maret 1967 dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan
Rakyat (Sementara). Dalam pidato itu Soeharto selaku pemegang Supersemar
mengemukakan, Bung Karno tidak dapat digolongkan sebagai penggerak langsung,
dalang, atau tokoh G30S/PKI.
Kesimpulan itu didasarkan empat
fakta yaitu :
1.
Pertama, laporan mantan Men/Pangau Laksamana Madya Omar Dani
29 September 1965 mengenai adanya rasa tidak puas sejumlah perwira muda anak buah
Brigjen Soepardjo terhadap pimpinan AD. Atas laporan itu, Presiden
memerintahkan Omar Dani dan Soepardjo untuk menghadap lagi pada 3 Oktober 1965.
2.
Kedua, laporan Brigjen Sugandhi kepada Presiden Soekarno pada
30 September 1965 bahwa PKI mungkin akan melakukan coup. Atas laporan itu,
Presiden memarahi dan memperingatkan Sugandhi.
3. Ketiga,
pada 30 September 1965 malam setelah mengunjungi Mubestek (Musyawarah Besar
Teknik) di Istora Senayan, Presiden tidak bermalam di Istana, tetapi di rumah
Ny Sari Dewi di Jalan Gatot Subroto. Pagi harinya, 1 Oktober sekitar pukul
06.00, Presiden bermaksud kembali ke Istana setelah minta pertimbangan dari
pengawal dan mendapat laporan singkat mengenai peristiwa pagi itu.
4. Keempat,
pada 30 September 1965 Presiden memanggil Jenderal Yani untuk menghadap pada 1
Oktober 1965. Rencananya akan membahas lagi tentang keberadaan Dewan Jenderal.
Dake menulis
(dalam Sukarno File), penciutan staf Kedubes AS di Jakarta sebagai salah satu
bukti ketidakterlibatan Washington. Itu keliru. Pengurangan staf Kedubes AS
sengaja dilakukan dengan tujuan agar kekuatan antikomunis dan kaum ekstremis
lain di Indonesia free to handle a confrontation, which they believe will come,
without the incubus of being attacked as defenders of the neo-colonialists and
imperialists (surat Dubes AS, Ellsworth Bunker kepada Presiden Lyndon B
Johnson). Meski ada penciutan staf kedubes, Bunker menasihati Presiden Johnson
agar Washington tetap aktif melakukan kontak rahasia dengan constructive
elements of strength in Indonesia.
Lashmar dan
Oliver dalam Britain Secret Propaganda War (1987) menulis, pada 1962 Presiden
John F Kennedy dan PM Inggris Harold Macmillan mengadakan kesepakatan rahasia
bahwa Soekarno harus dilikuidasi (baca: disingkirkan) karena dinilai telah
mengancam stabilitas Asia Tenggara, selain telah membawa Indonesia ke gerbang
komunisme.
Namun, menurut
Lashmar dan Oliver, secara fisik kedua negara Barat itu tidak berperan nyata
dalam G30S. Yang digulirkan AS dan Inggris, bersama Malaysia dan Selandia Baru,
adalah perang propaganda untuk memperlemah kekuasaan Soekarno, memperkuat
anasir-anasir kekuatan militer pro-Barat dan memisahkan rakyat Indonesia dari
PKI. Isu-isu Dewan Jenderal, rencana AD menggulingkan kekuasaan Soekarno, sakitnya
Presiden Soekarno serta Dokumen Gilchrist, semua itu, menurut Lashmar dan
Oliver, tidak lebih hasil gemilang propaganda dan perang urat saraf
negara-negara Barat, khususnya dinas intelijen M-16 dari Inggris.
Artikel singkat
Prof Benedict R Anderson dan Ruth McVey, “What Happened in Indonesia?” (1978),
menarik dicermati. Ia pun menggugat sangkaan keterlibatan Bung Karno. Semua
orang tahu, Aidit Ketua Umum PKI amat dekat dengan Soekarno. Semua orang tahu
jika PKI meyakini AD akan melancarkan kudeta, terutama karena mengkhawatirkan
keadaan negara jika Soekarno wafat.
Diolah dari
berbagai sumber. 2011 (dengan
beberapa pengubahan). (amelchan24)
Related
articles
- Sejarah internet
(ukhuwahislamiy.wordpress.com)
- Sejarah Ekonomi Indonesia
(baihaqiahmad28.wordpress.com)
- Photography!
(alfanisetiawan.wordpress.com)
- Sejarah Komputer
(iinnurlaili.wordpress.com)
- The Development of Islam in Indonesia
(dinalislam1.wordpress.com)